Tuesday, August 7, 2012
CERPEN " KEBERANIAN "
Gema tawa ceria dan suara murid-murid kelas tujuh bergaung di koridor ketika mereka berbaris memasuki gimnasium. Aku meneliti ruangan, mencari teman-temanku dan langsung menemukan mereka dekat pintu kamar kecil. Aku berjalan di antara kerumunan orang dan duduk dekat sahabatklu, Lauren.
"Jadi sebenarnya ada apa di sini?" tanyaku.
"Yah, menurut Bu Marks, seorang pembicara akan membahas masalah antar murid, tekanan, hinaan dan gangguan". Aku mengucapkannya dengan agak sinis, karena selama satu tahun, kelas kami berulang kali dikuliahi topik-topik ini. Kami mendapat reputasi sebagai kelas terburuk di seluruh sekolah, yang sebenarnya bukan reputasi yang aku dan teman-temanku banggakan. Ketika guru IPA kami berdiri di depan kelas, mencoba mendapat perhatian kami, aku dan teman-temanku duduk bersandar, mempersiapkan diri mendengarkan satu lagi pidato monoton yang penuh berisi teguran keras tentang "Anak-anak zaman sekarang.." dan "Tingkat kedewasaan kalian kalau menghina seseorang sama saja dengan anak delapan tahun."
Cerpen Pendidikan Tapi begitu ia mulai bicara, aku langsung memusatkan perhatian. Cara bicaranya sangat mengena, seolah ia tahu cara menggugah benak dan jiwa kami serta membuat kami berpikir. Dan kali ini, aku benar-benar mulai memikirkan apa yang sedang ia bicarakan. Kubayangkan semua murid yang datang ke sekolah setiap hari, meski tahu mereka akan harus menghadapi komentar kejam dan wajah mengejek sepanjang hari.
Sosok seorang murid laki-laki, khususnya, muncul dalam pikiranku. Setiap hari, ia datang terlambat menghadiri jam pelajaran pertama, dan aku menduga penyebabnya ia harus minta obat ke perawat dulu. Tapi hal ini tidak membuat anak-anak di kelasku berhenti mengejeknya. Mereka meninju bahunya dan berkata, "Hei man, dari mana saja kau? Lalu seorang murid lain akan menambahkan, "Bagaimana cewekmu. Kau cuma punya teman cowok." Pelecehan itu terus berlanjut sampai guru kami turun tangan, memaksa para murid laki-laki berhenti menganggunya. Tapi sudah terlambat - selalu sudah terlambat. Anak itu sudah menempelkan kepala di atas meja karena malu. Tapi yang terburuk adalah ketika ia mencoba membalas. Para penyerangnya hanya tertawa dan terus menghinanya sampai seluruh kelas ikut menertawakannya.
Ketika aku duduk di auditorium, menyerap semua yang dikatakan sang pembicara, bayangan anak laki-laki malang itu memenuhi kepalaku. Aku menghela napas, memikirkan betapa kasihannya aku padanya, walau bukan berarti aku bisa melakukan sesuatu. Aku kembali memusatkan perhatian pada kata-kata bijaksananya.
"Nah, sebelum aku pergi hari ini, aku ingin memberi semua murid di sini kesempatan untuk mengucapkan apa saja yang diinginkannya mengenai masalah tekanan antar murid. Kalian bisa minta maaf kepada seorang teman, berterimakasih atas kebaikan seseorang. Dan hanya kali ini aku bisa berjanji bahwa tidak ada, percayalah bahwa tidak ada, yang akan menertawakan kalian".
Keheningan dalam ruang itu membuatku mempercayai..Perlahan, aku melihat beberapa tangan terangkat di udara di belakangku. Seorang murid perempuan ingin minta maaf kepada seorang teman yang akhir-akhir ini ia abaikan. Seorang lagi berterima kasih atas kebaikan seorang murid laki-laki ketika ia tergelincir di tangga kemaren. Saat itulah keberanianku muncul. Sang pembicara memanggilku, dan dengan tangan gemetar serta telapak tangan berkeringat, aku mulai bicara.
"Yang kau katakan hari ini sangat masuk akal. Aku tahu itu benar, karena aku melihatnya setiap hari di kelas. Ada satu orang yang selalu dijadikan bahan tertawaan. Tak penting kenapa - mungkin karena rupanya, caranya berbicara, atau bahkan cara menulisnya." Suaraku gemetar. "Kurasa semua orang di sini pernah mengejeknya. Dan sekarang aku sangat menyesali. Bagi kita, mungkin itu hanya sebuah permainan, tapi baginya, itupasti sangat menyakitkan. Dan menurutku..yah, menurutku kita harus berhenti melakukannya."
Takut menghadapi reaksi teman-teman sekelasku, aku merasakan keheningan sesudahnya tak pernah usai. Tapi kemudian, tepuk tangan perlahan mulai terdengar dari bagian depan, dengan cepat menyebar ke seluruh kelompok murid. Ketika aku berani mengangkat muka, suara pelan itu sudah menjadi tepuk tangan gemuruh. Aku telah mengutarakan yang dirasakan semua orang.
Siang itu, murid laki-laki yang aku bicarakan datang menemuiku seorang diri dan mengucapkan terimakasih.
Sejak hari itu aku melihat orang-orang mulai memperlakukannya dengan sedikit lebih baik. Tak ada lagi yang mengejeknya, dan orang-orang menyapanya di koridor dengan sapaan ramah. "Hai!" hal-hal kecil seharihari semacam itulah yang aku lihat, dan aku yakin ia juga melihatnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment